Jiung, si kucing kuning dengan mata yang selalu ceria, baru saja mengalami hari yang berat. Dia menemukan kekasihnya, Chabul si kucing biru, sedang berkencan dengan rekan kerjanya di kafe yang dulu mereka sering kunjungi bersama. Hatinya hancur. Hubungan mereka memang sudah terasa hambar sejak lama, namun melihat Chabul bahagia dengan orang lain seperti itu membuat Jiung merasa benar-benar terluka.

Dalam kesedihannya, Jiung menghubungi Jin, si kucing merah yang merupakan sahabat kakaknya sekaligus teman terdekatnya. Jin segera datang, mendengarkan dengan sabar saat Jiung menceritakan semuanya.

"Jadi... semuanya sudah berakhir?" tanya Jin dengan nada penuh perhatian sambil menyeruput teh hangat yang ia bawa.

Jiung hanya mengangguk pelan. "Sepertinya memang sudah. Aku hanya tidak siap melihatnya dengan mata kepalaku sendiri."

Malam itu, Jin menemani Jiung seperti biasa. Mereka berbicara hingga larut malam, tertawa, dan berbagi kenangan lama yang selalu membuat Jiung merasa lebih baik. Namun, ada sesuatu yang berbeda malam itu. Jiung mulai merasakan kenyamanan yang lebih dari sekadar persahabatan dengan Jin. Setiap senyuman, setiap kata yang diucapkan Jin, terasa lebih hangat dan akrab. Rasa yang ia tak pernah pikirkan sebelumnya mulai tumbuh di dalam hatinya.

Hari-hari berikutnya, Jiung dan Jin semakin sering menghabiskan waktu bersama. Kebersamaan mereka terasa alami, namun juga mengundang pertanyaan yang menggantung di pikiran Jiung. Apakah ini lebih dari sekadar persahabatan?

Suatu malam, ketika mereka tengah duduk di bawah langit penuh bintang, Jiung memberanikan diri untuk bertanya, "Jin... kamu pernah merasa kalau ada sesuatu yang lebih dari ini? Maksudku... kita?"

Jin terdiam sejenak, menatap ke arah Jiung dengan mata penuh keraguan. "Jiung... sebenarnya aku sudah lama ingin mengatakan sesuatu padamu, tapi aku tidak pernah tahu bagaimana caranya."

Perasaan Jiung semakin kuat. Detik-detik terasa lambat, dan ia yakin ini adalah momen di mana perasaan mereka akan terbuka. Namun, sebelum Jin melanjutkan, teleponnya berdering.

"Maaf, aku harus angkat," kata Jin sambil menjauh sejenak.

Jiung menunggu, hatinya berdebar menunggu kata-kata Jin yang tertunda. Namun, beberapa menit kemudian, Jin kembali dengan wajah yang berubah serius.

"Aku harus pergi sebentar. Ada sesuatu yang mendesak," katanya cepat.

Jiung merasa ada sesuatu yang aneh. "Apa yang terjadi, Jin?"

Jin menghela napas panjang. "Sebenarnya... aku sudah lama menyembunyikan ini darimu, tapi aku tak bisa lagi menunda."

Jin menatap Jiung dengan mata yang penuh penyesalan. "Aku akan pergi. Aku ditugaskan ke luar negeri, dan aku harus pergi besok."

Jiung terkejut, mulutnya terbuka tapi tak ada kata yang keluar. "Kamu... pergi? Kenapa kamu tidak bilang dari dulu?"